Saturday, October 20, 2012

Rinai


Mengambil latar tempat di Gaza adalah salah satu yang membuat saya tertarik untuk membaca buku Rinai. Ditambah, ketika mengetahui bahwa kisah Rinai terinspirasi dari perjalanan penulis ketika berada di Khan Younis, Jabaliya, Deir Al Balah, Gaza City, maka keputusan untuk mengikuti event pre-order yang diadakan Penerbit Indiva di facebook-pun dilakoni. Sempat salah sangka, saat membaca blog penulis tentang gaya penceritaan epistori, bayangan awal saya adalah cerita akan berlangsung dengan model surat-menyurat seperti Life on the Refrigerator Door-Alice Kuipers tapi dalam bentuk surat bukan pesan di pintu lemari es. Jadi, saya mengira imajinasi pembaca dibangun dari aktivitas surat menyurat yang dilakukan sepanjang cerita. Ternyata epistori baru terasa ketika menjelang akhir antara Rinai dengan tokoh anonim, Aku. Meski begitu, saya menikmati membaca perjalanan Rinai Hujan yang dibalut dengan konflik psikologis dalam dirinya.

Sinta Yudisia
Menjadi anak perempuan di keluarga penganut adat Jawa yang kental ternyata menciptakan beragam tanya akan pengorbanan yang terlihat tidak adil, salah satunya 'pemujaan buta' terhadap laki-laki dalam keluarga. Jiwa berontak Rinai semakin kencang seiring dengan bertambahnya usia, bersamaan dengan tingkah Guntur, sang kakak, yang tidak tertolerir, ditambah lagi dengan Pak de Harun yang tidak kenal malu, terus meminta bantuan uang dari saudari-saudarinya, salah satu Bunda Rafika, ibu Rinai. Tapi, seluruh keluarga seperti berusaha 'menutup mata' dan memaklumi. 

Keputusan mengambil kuliah di Surabaya, ternyata tak membuat Rinai menjadi tenang, pertanyaan pun masih menggelayutinya, apakah keputusannya adalah bentuk pemberontakan atau upaya melarikan diri dari keluarga yang menurut Rinai selalu menciptakan beban pikiran. Sosok Nora Efendi membuat Rinai kagum dengan dosennya yang tampak sebagai perempuan tangguh yang berani mengambil tindakan dan cerdas, kemudian muncul sifat membandingkan ketika bayangan Bunda Rafika hadir dengan sifatnya yang pengalah dan kerap memendam segala keluh. Dua sosok perempuan kuat dengan caranya masing-masing.

Tak berhenti di situ, mimpi Rinai yang kerap hadir di setiap malamnya dalam wujud Ular pun menambah 'perang' dalam kepalanya. Mimpi tentang ular seringkali dianggap sebagai pertanda munculnya jodoh, tapi kehadiran mimpi ini mencemaskan. Rinai mulai mempertanyakan orientasi seksualnya, menambah permasalahan yang berkemelut dalam batinnya.

Setengah buku pertama, rasanya cerita berjalan lama bagi saya. Bukan dalam taraf membosankan tapi ada rasa tidak sabar dengan ada apa saja dan apa yang bakal terjadi di Gaza. Selain, menuturkan tentang latar keluarga dan pergolakan pikiran Rinai, penulis juga memberikan wacana tentang psikologis lewat diskusi yang terjadi dalam ruang kelas atau obrolan sesama teman kuliah, santai dan mengalir, mungkin karena latar belakang pendidikan penulis yang juga psikologi.

Sepanjang perjalanan menuju Gaza, penulis menggambarkan tentang proses ketika berurusan dengan petugas; suasana Timur Tengah yang jauh berbeda dengan Indonesia; makanan khas Timur Tengah yang malah membuat rindu nasi dan sambal pedas kampung halaman; dan berbagai tempat-tempat yang dilewati sepanjang perjalanan menuju Gaza, di sanalah penulis menyajikan unsur traveling dalam cerita.

Misi kemanusiaan ke Gaza memuat konflik. Tak disangka, human relief for human welfare [HRHW] yang dibawahi Nora Efendi tak seidealis yang dibayangkan Rinai. Persepsi tentang orang dan anak-anak Gaza yang 'diciptakan' untuk sekadar menarik simpati agar kucuran dana dari donatur semakin meningkat, menyalahi nurani Rinai. Perasaan bersalah dan terkejut membuatnya mengambil tindakan "melawan". Membaca bagian ini, memberikan saya gambaran tentang organisasi yang bergerak di dunia kemanusiaan, tanpa bermaksud menggeneralisir, ketika idealisme  'kalah' dengan realitas. Meski ada dua pandangan yang berseberangan, penulis tidak memihak, latar belakang dan alasan masing-masing disampaikan seperti ketika Nora berdebat dengan Taufik.

Tidak banyak buku yang mengangkat Gaza sebagai tema atau latar tempat, padahal butuh buku-buku seperti ini untuk terus mengingatkan pada manusia, terkhusus umat muslim, bahwa ada saudara kita yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Tidak hanya bergaung pada waktu-waktu tertentu, tapi selama penindasan terus terjadi.

Sumber Gamber: sini

Judul: Rinai
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting: Mastris Radyamas
Penerbit: Gizone Books
Cetak: Pertama, 2012
Tebal: 400 hlm
Bintang: 4,5/5

:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke FB Parcel Buku yuk! ::
Readmore → Rinai

Monday, October 15, 2012

Sang Pemusar Gelombang


Awalnya, saya mengira buku Sang Pemusar Gelombang merupakan bacaan fiksi sejarah, yang menceritakan kembali perjalanan hidup Hasan Al Banna dengan gaya fiksi, seperti Trilogi Muhammad - Tasaro. Setelah membaca satu bab dan mulai memperhatikan sub judul buku, "Sebuah Novel yang Berpusar Pada Peri Kehidupan Syaikh Hasan Al Banna", ternyata perkiraan saya salah, meski tidak 100%. 

Mengambil nama tokoh Randy, Hasan, dan Cikal, penulis ingin menampilkan perwakilan karakter dari beberapa golongan pemuda di Indonesia. Randy, aktivis dakwah yang sangat terinspirasi oleh Hasan Al-Banna; Hasan, pemuda yang memiliki ideologi sosialis dengan kekritisan dan kepedulian tinggi terhadap  masyarakat cilik, yang juga memiliki nama mirip dengan sang tokoh revolusioner Mesir; dan Cikal, perwakilan dari anak band yang kemudian dihadapkan pada konflik batin atas kebenaran pilihannya.

Hasan Al Banna
Terungkapnya masa lalu yang menimpa sang ayah, menumbuhkan ketertarikan dan keingintahuan Hasan pada sosok Hasan Al Banna. Perjuangan ayah Hasan menginspirasinya memulihkan keimanannya yang sempat terkubur dan mencari orang yang dapat membantunya mengenal Hasan Al Banna.

Randy Al Banna-lah yang kemudian mengantarkan Hasan ke ranah kehidupan dan pemikiran pria yang memrakarsai organisasi besar bernama Ikhwanul Muslimin.

Randy yang memiliki latar belakang keluarga yang moderat sebenarnya akan menarik jika lebih diangkat dalan cerita. Saya suka sekali diskusi Randy dengan Gilang, yang masing-masing memiliki argumentasi yang timbal-balik. Agak berbeda ketika Randy dan Hasan berdiskusi [baca: berbincang] yang lebih terasa datar, karena Hasan lebih bersifat menerima pemikiran yang disampaikan Randy.

Masih ada satu lagi tokoh, Cikal. Saya merasa sosok Cikal kurang menyatu dalam cerita. Persinggungan Cikal dengan Hasan/Randy tidak terlalu besar, bahkan terkesan "tidak terlalu penting". Maksud penulis ingin menyelipkan fenomena generasi muda saat ini yang kebanyakan keranjingan untuk menjadi selebritis, mungkin menarik. Tapi, tokoh Cikal jadi kurang masuk dengan tema utama novel ini, yaitu Hasan Al Banna. Kecuali, jika kemudian ternyata Sang Pemusar Gelombang memiliki sekuel yang akan menjelaskan keterkaitan lebih dalam antara ketiga tokoh tersebut, sepertinya bisa dimaklumi. Sepertinya begitu, melihat masih banyak konflik yang menggantung hingga akhir cerita.

Judul: Sang Pemusar Gelombang
Penulis: M. Irfan Hidayatullah
Penyunting: Feri M. Syukur & Topik Mulyana
Penerbit: Salamadani
Cetak: Pertama, 2012
Tebal: xviii + 502 hlm
Bintang: 3/5

:: ingin buku seken/murah bermutu? mampir ke FB Parcel Buku yuk! ::
Readmore → Sang Pemusar Gelombang
 

Yuk Baca Buku Islam Template by Ipietoon Cute Blog Design