Monday, October 31, 2016

Hadiah Cinta dari Istanbul

Judul: Hadiah Cinta dari Istanbul
Penulis: Fairuz Abadi
Penyunting: Sayyidah Murtafiah Djauhar
Penerbit: HalamanMoeka
Terbit: Mei, 2015
Tebal: 593 halaman
Bintang: 3.5/5



“Sebuah kisah, dihadirkan tak lain untuk menyampaikan hikmah, nasihat, peringatan, dan pelajaran bagi para pembacanya. Namun ia akan berfungsi dengan semestinya bisa siapa saja yang membacanya mau berpikir.” (Prakata)

Tidak dipungkiri lagi bahwa novel Hadiah dari Istanbul sarat dengan hikmah dan ilmu. Kisah Azhar ini mengangkat sejarah Turki dan renungan tentang kehidupan/rumah tangga di sepanjang alur ceritanya. Novel diawali dengan kata pengantar yang sangat menarik buat saya, terutama pembahasan tentang bangsa At-Turk dan pemahaman tentang penaklukan Konstantinopel Barat dan Timur berdasarkan hadist dan pendapat para ulama.
 
Berawal dari impian Azhar yang terwujud, yaitu keinginan untuk mengunjungi Istanbul, salah satu kota di negeri muslim Eropa yang telah menghias lembar-lembar sejarah dengan goresan pena bertinta emas. (h.39) Sebuah tawaran yang diterimanya dari sebuah perusahaan furnitur yang sering dia isi kajiannya, menghendakinya untuk memimpin jama’ah Umrah sekaligus berwisata ke Turki. Keberangkatan yang akan menggiringnya pada sebuah takdir yang penuh kejutan.
 
Sepanjang perjalanan Azhar ke Istanbul inilah, alur dipenuhi dengan sejarah bangsa Turki dan Dinasti Utsmaniyah dengan segala kejayaan, konflik, perebutan kekuasaan yang menjadi salah satu penyebab kemundurannya. “Sejarah kaum Utsmani adalah sebuah lembaran penuh berkah di masa Islam dan satu bagian yang sangat memesona dalam peradaban manusia. Mereka memiliki sifat ketinggian dalam sejarah dunia. Mereka berjihad dan bersungguh-sungguh dalam jihadnya. Mereka banyak melakukan kebaikan, meski juga berbuat kesalahan. Akan tetapi, mereka telah memberikan kebanggaan dan kemuliaan bagi umat.” (Dr. Muhammad Hard – h.75)
 
Di sisi lain, ada kisah Selma, gadis yang menjadi salah satu korban pengeboman di Suria hingga seluruh keluarganya meninggal. Pada alur ini penulis tidak mengaitkan langsung kisahnya dengan Azhar. Sepertinya penulis hanya ingin memperlihatkan keteguhan imannya menghadapi ujian hidup. Kaitan Azhar nantinya dengan keluarga Mr. Mehmet yang menolong Selma. Pertemuan dengan Mr. Mehmet berawal di Mesjid Suleymaniye dan menciptakan keakraban karena pengetahuan Azhar yang sangat luas tentang Sejarah Turki. Mr. Mehmet kagum dengan Azhar karena beliau juga sangat mencintai sejarah.
 
Pada awal-awal kisah bisa dibilang alur ceritanya tenggelam karena banyaknya sejarah yang disampaikan dalam cerita, ada kesan tersendat-sendat. Alur cerita mulai berjalan lancar ketika Keluarga Mr. Mehmet sudah berdomisili di Jakarta. Konflik mulai terasa ketika Azhar melamar Anisah, sedang di saat yang sama keluarga Mr. Mehmet ingin mengajukan Fatma untuk menjadi istrinya. Dilema semakin terasa karena Anisah dan Fatma adalah sahabat dekat, bahkan sekamar kos. Sebuah kondisi yang membuat Fatma harus mati-matian mengendalikan hatinya.
 
“Perang batin memang jauh lebih dahsyat untuk menciptakan suasana remuk redam. …. Sebab medan pertempuran terjadi di dalam hati, di dalam jiwa, di dalam rasa, juga di dalam pikiran. Pada akhirnya perang itu meluluhlantakkan apa saja yang ada dalam diri seseorang, Sebab ia sedang berperang sendirian. Musuhnya adalah dirinya, sedang lawan musuhnya juga dirinya.” (h.293)

Anisah yang akhirnya mengetahui hati Fatma yang remuk, tidak sampai hati meninggalkan begitu saja. Jika Fatma berusaha meredam kesedihannya, Anisah mencari-cari solusi untuk menyelesaikan kondisi tak menyenangkan ini. Proses panjang pencarian Anisah dipenuhi pertimbangan dan shalat-shalat panjang, memohon pertolongan Sang Penguasa Alam untuk menemukan keputusan, hingga dipilihnya jawaban yang kontroversial, Poligami.
 
Konflik tak berhenti di sana, setelah pernikahan, Azhar, Anisah, Fatma, harus menata hati karena sudah pasti tak mudah menjalani pernikahan dengan tiga kepala. Selain itu, ujian juga datang dari usaha jamur tiram yang dijebak Kasmaji karena tidak suka tersaingi. Proses pengambilan keputusan hampir semua tokohnya selalu dilakukan dengan mengkaji ayat alQur’an, hadist dan kisah para sahabat nabi, dari sinilah novel ini memberikan banyak ilmu dan hikmah. Tak sekadar mengantarkan sebuah cerita, tapi juga pemikiran-pemikiran yang berlandaskan ke-Islam-an.
Readmore → Hadiah Cinta dari Istanbul

Monday, October 24, 2016

Reclaim Your Heart

Judul: Rebut Kembali Hatimu
Judul Asli: Reclaim Your Heart
Penulis: Yasmin Mogahed
Penerjemah: Nadya Andwiani
Penerbit: Zaman
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 297 hlm
Harga: Rp. 55.000 (Diskon di Toko Buku Online)
Bintang: 5/5


“Begitulah jika kita hidup di dunya dengan hati kita. Menghancurkan kita. Itulah kenapa dunya ini menyakitkan. Karena definisi dunya, sebagai sesuatu yang sementara dan tidak sempurna, bertentangan dengan segala sesuatu yang diciptakan untuk kita dambakan.” (h.22)

Keterikatan adalah judul bab yang mengawali kumpulan tulisan Yasmin Mogahed dalam Reclaim Your Heart. Apa yang membuat manusia seringkali bersedih, menderita, kehilangan? Sebagian besar, bahkan hampir semua, disebabkan oleh keterikatan dengan dunia. Dunia yang sebenarnya hanyalah sarana seringkali dijadikan tujuan bagi manusia, sedangkan dunya tidaklah pernah sempurna dan seringkali berujung pada kekecewaan.

“Perjuangan untuk membebaskan hati kita dari semua keterikatan palsu, perjuangan untuk mengosongkan bejana hati kita, adalah perjuangan terbesar dalam kehidupan di dunia ini. Perjuangan itulah inti dari tauhid (monoteisme sejati). (h.48)

Pada beberapa tulisan, penulis menekankan bahwa keterikatan manusia dengan dunia tidak hanya berlaku dengan harta, jabatan atau segala yang tampak nyata, tetapi juga hubungan atau keterikatan hati dengan makhluk. “Tauhid berarti Keesaan tujuan, ketakutan, ibadah, cinta yang tertinggi untuk Allah. Itu berarti keesaan visi dan fokus. Itu berarti mengarahkan pandangan kita pada satu titik tunggal, yang memungkinkan segala hal lainnya meluruh ke tempat masing-masing.” (h.61)

Cinta dan Penderitaan menjadi tema tulisan selanjutnya yang disampaikan penulis. “Melihat yang Sejati mengubah cara kita mencintai. … Jika hatimu diperbudak oleh sesuatu yang terlarang baginya, salah satu akibat dari situasi menyedihkan ini adalah berpaling dari Allah.” (h.108) Disadari atau tidak, rasa cinta kepada pasangan, anak, orangtua, atau makhluk lainnya seringkali mengalahkan kecintaan kepada Sang Pencipta. Rasa cinta fana yang dapat memberikan penderitaan karena dibarengi dengan harapan untuk menjadikannya yang terbaik, padahal semua itu sesuatu yang mustahil.

Salah satu tulisan yang membekas bagi saya, berjudul Disakiti oleh Orang Lain. Sebuah pertanyaan muncul, “Bagaimana kita bisa hidup di dunia yang begitu cacat, tempat orang-orang mengecewakan kita, dan bahkan keluarga kita dapat menghancurkan diri kita?” karena dunia ini tidak sempurna, dunia yang sering menjadi kebanggaan ternyata menyembunyikan pisau yang dapat melukai tanpa kita perkirakan.

Potensi manusia untuk melakukan kejahatan keji terhadap satu sama lain merupakan kebenaran yang menyedihkan tentang hidup ini. Namun, kemampuan untuk mudah memaafkan harus didorong oleh kesadaran akan kekurangan dan kesalahan kita sendiri terhadap orang lain, karena kita juga makhluk yang berpotensi melakukan kekejian pada orang lain. Menghadirkan kerendahan hati bahwa kita juga sering melakukan kesalahan kepada Allah setiap hari dalam hidup kita.

“Kadang-kadang kita gagal mengenali hubungan langsung antara penderitaan di dalam hidup kita dan hubungan kita dengan Allah. … Penderitaan sulit menguji iman, ketabahan, dan kekuatan kita. Kemalangan melucuti topeng kita, mengungkap kebenaran di balik pernyataan keimanan belaka. Kesukaran memisahkan pernyataan keimanan yang tulus atau yang semu. (h.153)

Hubungan dengan Sang Pencipta adalah bab yang lebih banyak berbicara tentang ibadah kita yang merupakan sarana terkuat manusia untuk menjalin hubungan dengan Allah SWT. Shalat, Puasa, Doa dan lainnya yang kerap dilakukan sekadar pemenuhan kewajiban, sekadar gerak tubuh, bukan lagi kebutuhan atas perlindungan dari keburukan dunia. “Dengan meninggalkan shalat, manusia telah menanggalkan baju zirah dari Allah, dan memasuki medan pertempuran tanpa perlindungan.” (h.180) Sedangkan, jebakan setan yang bagian-bagiannya menjadi penguji keimanan, muncul hampir setiap detik dalam kehidupan manusia.

“Saat ini feminisme Barat menghapus Allah dari gambaran besar, tidak ada standar yang tersisa--- selain standar kaum laki-laki. Dengan demikian, ia telah menerima asumsi yang keliru. Ia telah menerima bahwa kaum lelaki adalah standar acuan, dan dengan demikian seorang perempuan tidak pernah bisa menjadi manusia yang utuh sampai ia menjadi sama seperti laki-laki.” (h.222)

Apa yang selalu digaungkan oleh pemikiran feminis, adalah kesetaraan gender, dan itu selalu mengarah pada persamaan yang menjadikan lelaki sebagai acuannya. Sedangkan, perempuan memiliki keunggulannya sendiri, perasaan, kelembutan dan keindahan di dalam kekhasan diri yang dianugerahi oleh Allah. Realitas inilah, yang disinggung pada bab Status Perempuan. Perbedaan yang seharusnya menjadi anugerah, tergeser oleh paham-paham yang mencoba mengaburkan keberkahan.
Sedangkan di sisi lain, perempuan seringkali menjadi bahan eksploitasi dan pajangan untuk memuaskan pandangan lelaki, realitas yang dibalut kebohongan sebagai suatu kebebasan dan kesuksesan perempuan.

“Aku adalah ‘budak’, tetapi kau mengajarkan bahwa aku bebas. Aku menjadi obyekmu, tetapi kau bersumpah bahwa itu adalah kesuksesan. Karena kau mengajariku bahwa tujuan hidupku adalah untuk dipamerkan, untuk menarik, dan menjadi cantik bagi kaum lelaki. Kau telah membuatku percaya bahwa tubuhku diciptakan untuk memasarkan mobilmu. Tapi, kau BOHONG. … Kau mengerti, sebagai perempuan muslim, aku telah dibebaskan dari perbudakan terselubung. Aku tidak tunduk kepada pada hamba Tuhan di bumi. Aku tunduk kepada Raja mereka.” (Surat Terbuka kepada Budaya yang Telah Membesarkanku – h.228)

Saat menuliskan ulasan buku ini rasanya ingin menuangkan semua kutipan, yang bisa berarti seluruh isi buku. Banyak kalimat yang dapat kita simpan dan kembali direkam ketika kondisi iman sedang menurun. Banyak hal dalam buku ini yang bisa dijadikan renungan untuk kembali merebut hati kita dari keterikatan dunia dan kecintaan makhluk yang melalaikan.

“… hanya ada satu buhul tali yang amat kuat dan tidak ada putus. Hanya ada satu tempat kita bisa bergantung. Hanya ada satu hubungan yang menentukan nilai-nilai kita dan hanya satu sumber bagi kita untuk mencapai kebahagiaan, kepuasan, dan keselamatan tertinggi. Satu tempat itu adalah Allah.” (h.21)

Readmore → Reclaim Your Heart

Saturday, October 15, 2016

Pembawa Kabar dari Andalusia

Judul: Pembawa Kabar dari Andalusia
Penulis: Ali Al Ghareem
Penerjemah: Yusuf Burhanudin
Penerbit: Syaamil
Cetakan: Pertama, November 2005/Syawal 1426H
Tebal: vi+368 hlm
Bintang: 2/5




  • “… Permusuhan dan kebencian datang di balik kepentingan tertentu. Musuhilah aku sebagaimana musuh-musuh yang merongrong kekayaan, pangkat, dan jabatanmu. Itu semua adalah naluri, wahai Tuan Putri! Engkau akan melihatnya pada manusia sebagaimana kau menyaksikannya pada hewan-hewan. Hamparkanlah semangkuk biji-bijian di antara ayam-ayam. Perhatikanlah, apa yang akan engkau perbuat?” (h. 216)


Novel ini bercerita tentang intrik politik dan konflik cinta. Awal cerita banyak berkisah tentang kehidupan penyair dan syair-syair yang agak sulit saya cerna. Tokoh utama, Ibnu Zaidun adalah seorang penyair yang diidamkan dua wanita dengan kekuatan politis yang besar di Andalusia. Salah satunya, Aisyah, yang ternyata seorang mata-mata Spanyol. “Aisyah binti Ghalib?! Dia adalah seorang wanita yang terpelajar. Para tokoh dan pemuka masyarakat maupun para seniman sering menghadiri pertemuannya. … Dari sebagian isu yang beredar, dia adalah mata-mata Ibnu Azvonus.” (h.21)

Kalau saya tidak salah menangkap dari latar sejarahnya, periode kisah Ibnu Zaidun berlangsung pada masa pemerintahan Abu al-Hazm ibn Jahwar, seseorang yang menghapuskan khilafah dikarenakan tidak ada sosok yang layak mendudukinya. “Wahai Wilada, orang-orang Cordova sebenarnya tidak rela satu sistem pemerintahan selain sistem kekhalifahan.  Mereka mencintai kekhalifahan, menghormati kedudukannya, dan menaati kebijakannya. …Mereka sungguh rela dengan kepemimpinan pada masa Al Manshur bin Abu Amir sekalipun diktator. … yang padahal pemerintahan ini dianggap batal oleh Ibnu Jahwar.” (h.48)

"Sesungguhnya Ibnu Jahwar tengah memercayakan pada Ibnu Zaidun untuk mengantarkan dirinya ke singgasana kementrian dalam waktu dekat.” (h.53) Ibnu Zaidun, seorang penyair dan cendikiawan yang mendapatkan kepercayaan menyampaikan pesan ke luar negeri karena syairnya yang dipandang sangat cerdas. Kesempatan ini membuat Aisyah binti Ghalib semakin berkeras untuk mendapatkan Ibnu Jahwar, meski sudah ditolak. Latar belakang Aisyah juga diungkap mulai dari Kakeknya, tapi saya tidak melihat sisi pentingnya dalam alur cerita.

Wilada, adalah perempuan satu lagi yang menyukai dan disukai oleh Ibnu Zaidun, tapi situasi tidak banyak mendukung keduanya. Wilada binti Al Mustakfi dan Naila Al Dimasykia, dua orang yang berusaha melindungi Ibnu Zaidun dari jebakan-jebakan yang digelar oleh Aisyah dan memohonkan ampun. Di dalam pemerintahan sendiri Ibnu Zaidun memiliki musuh yang selalu bersemangat menjatuhkannya, hingga suatu ketika jebakan berhasil membuat Ibnu Jahwar kehilangan kepercayaan dan memenjarakannya.

Sayangnya, penggambaran narasi tentang Ibnu Zaidun yang cerdas tidak terlalu saya tangkap, selain dari syair-syairnya (yang juga tidak terlalu say abaca), penilaian saya sendiri tentang Ibnu Zaidun, tipe yang lemah dan ceroboh, bahkan munafik. Surat-surat Ibnu Zaidun kepada Aisyah di awal cerita, malah berisikan cacian kepada sosok dan pemerintahan Ibnu Jahwar dan sempat akan digunakan Aisyah untuk mengancamnya. “Satu surat ini sebenarnya cukup untuk mengancam darahku dan menghapus namaku dari daftar kehidupan.” (Ibnu Zaidun ~ h.176) Beruntung ada Naila Al Dimasykia yang berhasil mengambil surat-surat tersebut dengan siasatnya. Aisyah tetap tidak menyerah untuk mendapatkan Ibnu Zaidun, meski harus menghadapi pengusiran dari Ibnu Jahwar. Jika diperhatikan, tokoh-tokoh perempuan dalam novel inilah yang menjadi sosok tangguh.

Hampir semua syair saya lewati karena kurang memahami isinya, lebih fokus pada alur cerita. Segalanya terasa nanggung, kisah cintanya, sejarahnya, intrik politiknya, menurut saya menjelang akhir cerita, ada kesan terburu-buru menutup kisah, sejak kepindahan Ibnu Zaidun. Pertemuan terakhirnya dengan Wilada pun tidak terlalu menyentuh, mengingat inilah momen yang dinanti-nanti oleh Ibnu Zaidun.

Readmore → Pembawa Kabar dari Andalusia

Thursday, October 06, 2016

Perempuan Kertas

Judul: Perempuan Kertas
Penulis: Alga Biru dan Selvia Stiphani
Penerbit: Quanta
Cetakan: 2014
Tebal: 112 hlm
Bintang: 3/5


“Hai kamu… Iya kamu! Perempuan jangan seperti kertas ya. Gampang dirobek-robek.” (Sinopsis)

Sejarah menunjukkan bahwa perempuan mulai mendapatkan kemuliaan sejak Islam didakwahkan oleh Rasulullah saw. Dan sebaik-baiknya perempuan adalah yang sholehah. Seperti yang disebutkan kutipan di atas, perempuan itu laksana kertas atau kaca, jika salah penempatan atau perlakukan akan mudah hancur. Karenanya Islam sangat menjaga perempuan,

Para ‘pemikir modern’ sering mengangkat tema feminis untuk membuat perempuan goyah dengan mengumbar stigma bahwa agama mengekang perempuan. Sayangnya, banyak perempuan yang lebih tergoda memilih untuk menyisihkan pelindungnya dan tak menyadari bahwa pilihannya bisa berdampak mengerikan pada dirinya.

“Tantang arus dengan segala prinsip yang ada di dada. Menantang arus, hanya dilakukan oleh orang-orang bernyali. Apakah kita cukup bernyali?” (h.19)

Jika ditarik garis besar, pembahasan buku ini adalah mengkritisi tentang pergaulan, terutama masalah pacaran, kemudian difokuskan kembali kepada perempuan. Pembahasan dimulai dari pengenalan diri sendiri yang seringkali menilai sebenarnya pacaran seperti apa. Bisikan-bisikan setan tentang ‘indahnya’ pacaran. Segala hal yang sering dirasa, dipikir dan dikira oleh para pengidam hubungan labil, sarat dosa.

“Aku rasa… Kicauan kecil di hati bersuara. Si dia lewat di depanku. Darah mengalir, seeerrr dari ulu hati ke relung-relungnya. Ternyata begini rasanya cinta monyet, cinta simalakama. Jika diambil bisa kebablasan, kalau tak diambil takut ketinggalan zaman. Aku rasa….” (h.2)

Alasan sering dijadikan tameng untuk melakukan sesuatu, termasuk juga ketika seseorang ingin membenarkan aktivitas pacaran. Semboyan, “Sandal aja pasangan, masa kamu nggak” seperti melekat di benak para remaja. Pacaran seperti menjadi kebutuhan wajib supaya tetap eksis. Dari beberapa alasan, salah satu yang disinggung dalam buku Perempuan Kertas adalah Mengikuti Zaman.

“Ada yang berdalih, pacaran susah ditinggalin sebab udah jadi tuntutan zaman. Kalo gak punya pacar berasa nggak gaul. …. Entah sejak kapan tatanan nilai sudah demikian bergeser. Tampaknya sejak pahan liberalisme, hedonisme, dan permisifisme masuk ke pikiran remaja muslim, pacaran yang jadi alat dari kebebasan berekspresi makin tumbuh subuh.” (h.18)

Lupakan adalah judul bab yang membahas tentang cara ampuh melupakan mantan/pacar berlanjut ke cara berusaha memperbaiki diri yang terurai pada bab Tobat. Dua bab inilah yang penting dipahami dan dilakukan untuk menjadi remaja yang tidak melulu berpikir tentang romantika pasangan non halal. Komitmen membenahi diri akan membuat tenaga dan masa muda tidak menjadi sia-sia.  Belajar tentang etika pergaulan dan memaknai cinta sejati juga dibahas menjadi salah satu poin penting untuk lebih berhati-hati dengan hati, segumpal daging yang sangat mempengaruhi diri manusia.

“Satu-satunya jalan mengecap indahnya cinta ialah berada dalam koridor cinta yang benar. Mengawasi hawa nafsu tidak sebagai komando yang menggerakkan rasa. Cinta yang halal, dialah cinta terindah. … Pemiliknya tidak perlu khawatir dengan rayuan gombal, karena cinta yang halal diikat oleh janji Tuhan.” (h. 76)

Cara bertutur gaul dijadikan senjata untuk merangkul segmen pembaca remaja yang memang menjadi sasaran buku ini. Penulis berusaha untuk menjadikan bahasan seperti obrolan dan tidak terasa kaku. Hanya saja, ada ganjalan dengan konsep yang ingin digunakan penulis. Pada awalan penuturan buku ini tampak menarik karena penulis menciptakan figur Alga dan Putri Padi untuk menyampaikan materi sehingga tidak terkesan menggurui. Sayangnya, menurut saya, konsep tersebut tidak berjalan, karena semakin ke belakang, ‘peran’ dari Alga ataupun Putri Padi tidak terlalu terlihat.

“Jangan menjadikan dosa itu sebagai kenangan yang tidak bisa dillupakan. Kita meski bisa memaafkan diri sendiri, karena awal perubahan diri kita adalah ketika kita mampu memaafkan diri sendiri, kemudian menancapkan tekad untuk berubah menjadi lebih baik.” (h.46)

Readmore → Perempuan Kertas
 

Yuk Baca Buku Islam Template by Ipietoon Cute Blog Design